Halaman

Selasa, 27 Maret 2012

BUDAYA & RITUAL ADAT TORAJA





Kebudayaan lokal Tana Toraja tidak dapat dipisahkan dengan istilah Siri'. Bagi suku Toraja pada hakikatnya Siri' sama dengan harga diri sebagai manusia.Istilah ini sering dihubungkan dengan penggarisan leluhur, Aluk Sola Pamali. Penggarisan ini menggambarkan jika seseorang yang tidak mempedulikan Siri Tuo atau Siri Mate artinya tidak menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, tidak menjunjung tinggi hakekat hidup dan kehidupan.

      Hal ini dikemukakan Dosen Sastra Unhas, Prof Dr C Salombe, dalam sebuah buku berjudul Siri' dan Passe'. "Siri juga dijadikan pandangan hidup yang tersimpan dan ditemukan dalam mitos-mitos mereka. Seperti dalam nyanyian pujaan uang diucapkan seorang Tominaa (petugas ahli adat istiadat tradisional)," tambahnya.
     Pandangan itu juga tertuang dalam upacara sukuran tradisional sebelum menyembelih hewan kurban, seperti dalam upacara pasomba tedong. Dalam upacara ini dijelaskan leluhur manusia, hewan, tumbuhan, dan benda alam liannya diciptakan sang puang matua dari dalam 'Sauan Sibarrung' (embusan kembar). "Setelah penciptaan itu, atas kehendak masing-masing dan direstui oleh Puang Matuang, maka leluhur hewan, tumbuhan, dan benda alam lainnya memilih jaln hidupnya sendiri-sendiri demi tanggungjawabnya terhadap kesejahteraan bersama," ujarnya.
     Namun perpihan itu tidak membuat mereka tidak saling bekerjasama. Keberadaan dan kehadiran manusia, hewan, tumbuhan, dan benda alam lainnya ada untaian solidaritas gotong royong kekerabatan di antara mereka. Dalam kacamata pandangan hidup suku Toraja, solidarita itu dapat dikatakan sebagai semangat atau tindakan mengabdikan diri seutuhnya dan setulus-tulusnya kepada kesejahteraan bersama.
"Hal ini tergambar secara verbal dalam mitos Takkebuku leluhur padi. Kesadaran dan kesdiaan berkorban dengan tulus dan ikhlas untuk sesama harus dijunjung tinggi dan dilaksanakan sebagai sesuatu yang mutlak. Bahkan harus dipandang sebagai satu-satunya jalan hidup setiap makhluk demi kesejahteraan bersama," katanya.
     Dari gambaran pandangan hidup masyarakat tradisional Toraja tersebut, harkat dan martabat seseorang dapat dilihat dan diukur dengan tingkat semangat dan usahanya. Menyatukan dirinya dengan untaian solidaritas gotong royong kekerabatan. "Rasa egoisme dapat terlihat jika seseorang acuh tak acuh terhadap jenazah seseorang anggota keluarga untuk menguburkan dengan wajar sesuai tradisi. Sifat ini mencerminkan seseorang tidak menjungjung tinggi harkat dan martabat, baik yang meninggal maupun keluarga, bahkan menjadi penghianat untaian solidaritas tersebut," jelasnya.
    Jika siri' telah tertanam dalam diri pribadi seseorang, tambahnya, maka setiap ada keluarga yang meninggal dunia, semua masyarakat akan berbondong-bondong datang berbelasungkawa dan dan saling bergotong royong melaksanakan upacara penguburan jenazah. Saat penguburan pun akan terlihat kerjasama mengorbankan hewan dan harta benda yang mungkin akan terkesan pemborosan bagi orang lain.

Begitu pula saat terjadi hubungan seksual tidak sah, menikahi saudara kandung atau hubungan seksual antara orang tua dengan anaknya, juga termasuk melanggar siri'. Pelanggaran ini menunjukkan tidakan tidak setia dengan solidaritas gotong royong kekerabatan alam semesta dan rumpun keluarga sebagai satu ekosistem. "Dalam tradisi Tana Toraja, bagi orang yang tidak setia terhadap solidaritas itu akan mendapat hukuman berat. Seperti mebakas hangus para pelakunya atau menenggalmkannya ke dalam palung sungai. Bahkan membakar hewan atau pakaian para pelaku. Jika tidak dilakukan, menurut mereka, malapetaka akan melanda kampung mereka, baik bagi keluarga maupun kesejahteraan bersama," (ONE ZERO Civil Engineering UNHAS) .


PROSES ACARA DALAM ADAT KEMATIAN

Adapun proses umum dalam acara kematian dan Rambu Solo' adalah sebagai berikut :
1. Ma’dio’ Tomate, yaitu orang yang baru mati lalu diberi pakaian kebesarannya dan perhiasan pusaka yang dihadiri oleh keluarga. Pada saat itu dipotong seekor kerbau atau babi bagi Tana’ Bulaan dan Tana’ Bassi, dan dagingnya dibagikan kepada keluarga yang hadir. Mulai saat itu sampai pelaksanaan upacara Rambu Solo' jenasah masih dianggap orang sakit atau To Makula’.
2. Ma’doya,  yaitu sebagai acara pertama dalam Rambu Solo' yang dikatakan Mangremba’ dengan sajian seekor ayam yang disembelih dengan memukulkan kepala ayam. Saat itu jenasah sudah dianggap orang mati atau Tomate
3. Ma’balun, yaitu jenasah dibungkus dengan kain kafan (Dibalun) karena baru dianggap sebagai orang mati. Bungkusan mayat berbentuk bulatan dan yang membungkus mayat adalah petugas khusus yang dinamakan To Mebalun atau To Ma’kayo
4.   Ma’bolong,  dimana secara resmi keluarga dinyatakan Maro’
5. Meaa, yaitu proses pengantaran jenasah ke liang kubur yang sejalan pula dengan Ma’palao sampai mayat dimasukkan de dalam liang yang disebut Ma’peliang.
6.  Kumande, yaitu acara dimana orang Maro’ sudah boleh makan nasi. Rentetan acara Kumande ini adalah Ussolan Bombo atau manglekan.
7. Untoe Sero, yaitu satu acara dengan kurban mengakhiri upacara Rambu Solo' dan dilakukan di liang yang maksudnya hubungan antara yang mati dengan orang hidup tidak ada lagi.
8. Membase (membersihkan), yaitu upacara dari keluarga yang baru selesai mengadakan Rambu Solo' dengan mengadakan kurban di atas Tongkonan yang maksudnya sudah lepas dari ritual Rambu Solo' dan sudah boleh melakukan Rambu Tuka'.
9.  Pembalikan Tomate, yaitu menempatklan arwah menjadi Tomembali Puang
Semua proses di atas adalah proses umum pada Rambu Solo' namun setiap daerah adat mempunyai cara atau penambahan tersendiri. Upacara khusus yang merupakan upacara yang tidak mengikat waktu dan keharusan adalah Ma’nene’ yaitu upacara peringatan arwah leluhur atau Tomembali Puang saat keluarga mendapat berkat. Upacara ini berbeda-beda untuk tiap daerah adat tetapi maksud dan tujuannya sama.


UMPOYA ANGIN & MANGRAMBU TAMPAK BELUAK
      Umpoya angin (memukat angin) dan mangrambu tampak beluak (mengupacarakan sisa/ujung rambut) adalah upacara Rambu Solo' menurut Aluk Todolo tanpa jenazah tetapi hanya dengan membungkus angin atau ujung kuku / rambut. Ini dilakukan jika orang yang akan diupacarakan ternyata meninggal di luar daerah dan orang hanya membawa berita kematiannya atau hanya ujung rambut atau kukunya.Menurut Aluk Todolo setiap orang yang mati harus diupacarakan agar arwahnya dapat diterima sebagai arwah yang baik di Puya dan dapat menjadi Tomembali Puang yang memperhatikan keturunannya.Oleh karena kewajiban daripada arwah serta keyakinan dalam Aluk Todolo, maka orang yang mati di luar daerahnya dapat diupacarakan dengan cara yang wajar sesuai dengan cara tertentu, namun mayatnya tidak diketahui tempatnya. Upacara untuk orang demikian ada 2 yaitu :
  1. Di poyan angin, yaitu jika seseorang yang meninggal dan jasadnya tidak didapatkan atau tidak diketahui dimana letak jenasahnya, sehingga tidak didapatkan ujung rambut atau ujung kukunya ataupun pakaiannya, terutama orang yang tenggelam di laut, hilang di dalam hutan, maka orang yang mati itu harus diupacarakan dengan Upacara Dipoyang Angin yaitu seluruh keluarga dari yang mati pergi ke puncak gunung dan membawa sebuah sarung yang baru untuk memukat angain dengan sarung tersebut. Cara memukat angin ini adalah salah satu ujung sarung diikat kemudian diarahkan ke arah datangnya angin. Angin yang membuat sarung menggembung akan ditangisi oleh perempuan dan segera para pria akan mengikat ujung yang masih terbuka sehingga sarung akan terisi angin yang menggembung.Pada saat itu diyakinkan bahwa nyawa dan roh dari yang mati telah masuk ke dalam sarung tadi, dimana kemudian sarung yang berisi angin tersebut dibawa ke Tongkonan untuk selanjutnya dibungkus menyerupai bundaran balun dan dianggap sebagai jenasah dari orang yang mati. Replika jenasah ini kemudian diupacarakan sesuai dengan kasta dari orang yang mati. Pada umumnya Upacara Dipoyan Angin dilaksanakan dengan upacara dipasangbongi namun dengan memotong kerbau lebih dari satu ekor dimana  kulit (balulang) salah satu kerbau yang dipotong itu tidak boleh dilepas tetapi diiris bersama dengan dagingnya.Kemudian Tominaa mengucapkan untaian kata dari atas menara daging (Bala’kayan Duku’) yang mengungkapkan kesetiaan dari keluarganya serta kematian dari si mati dan diyakini bahwa arwahnya dapat diterima dengan wajar di alam baka atau Puya. 
  2. Upacara Mangrambu Tampak Beluak, yaitu suatu upacara pemakaman dimana hanya ujung rambut atau kuku dan pakaian dari jenasah yang dibungkus, sedangkan jenasahnya dikuburkan jauh dari negerinya. Menurut keyakinan Aluk Todolo bahwa dengan adanya ujung rambut atau kuku, maka hal itu sama dengan jenasah aslinya dan diupacarakan sesuai dengan tingkatan kasta dari orang yang mati tersebut.Sering juga pihak keluarga pergi mengambil jenasah itu dengan menggali tulang belulang jenasah dan dibawa ke negerinya untuk diupacarakan. Pada saat menggali tulang belulang tersebut yang dinamakan Mangkaro batang Rabuk, maka harus diganti dengan menguburkan satu ekor hewan yang biasanya ayam atau babi.
Dengan memperhatikan pemakaman cara demikian di atas bahwa menurut keyakinan Aluk Todolo, setiap manusia harus diupacarakan kematiannya atau pemakamannya sekalipun jenasah tidak ada. Hal ini karena menurut Aluk Todolo, setelah manusia meninggal maka rohnya akan menjadi Tomembali Puang yang akan memberi berkat kepada keturunannya.

ADAT MA' BARATA (PENGURBANAN MANUSIA) DALAM UPACARA RAMBU SOLO' DI TANA TORAJA     

   Adat Ma’ Barata (pengurbanan manusia) pada upacara Rambu Solo’ yang masih berlaku sampai masuknya Pemerintah Kolonial Belanda, adalah salah satu adat yang diadakan sebagai penghormatan serta sebagai tanda kepahlawanan/keberanian dari seorang bangsawan atau pahlawan dalam perang Topadatindo dan perang saudara pada permulaan abad ke-17. adat Ma’ Barata Bulan bukanlah aluk dalam Aluk Todolo, tetapi hanya sebagai adat sehingga dilarang sejak masuknya Belanda.


Adat Ma’ Barata ini hanya sebagai :

1. Tanda penghormatan kepada seseorang pahlawan yang telah mempertahankan kedaulatan negerinya dan kehormatan keluarganya serta masyarakatnya.

2.Tanda penghormatan kepada seseorang yang mati dalam peperangan terutana dalam perang saudara dahulu di Toraja.

3.Tanda penghormatan kepada seseorang yang berjasa.

Adat Ma’ Barata ini hanya dilakukan pada upacara Rapasan, dan seorang yang menjadi kurban Barata diikat tangannya dan ditambatkan pada Simbuang Batu (batu tugu peringatan pada ups Rapasan yang berdiri di tengan Rante), menunggu saatnya dipancung. Kurban Barata ini boleh saja laki – laki atau wanita yang ditangkap saat perang atau jika tidak ada perang maka ditangkap dengan cara Mangaun (mengintip untuk menangkap) dari orang – orang yang telah disepakati oleh para Topadatindo. Menurut kesepakatan Topadatindo yang dipegang oleh penerusnya, yang menjadi korban Barata adalah tawanan dalam perang atau orang – orang yang tidak ikut dalam persatuan melawan Arung Palakka ( To Ribang La’bo’, To Simpo Mataran) yang berasal dari daerah Karunanga, suatu daerah yang terletak di bagian utara pegunungan Toraja. Orang – orang inilah yang selalu menjadi buronan pada setiap saat adanya rencana adat Barata, itupun melalui pertarungan karena orang yang diburu selalu mengadakan perlawanan dengan mati-matian.

Oleh karena sering terjadi perkelahian yang hebat dalam menangkap Kurban Barat, maka sering Kurban Barata itu tak dapat ditangkap dengan hidup-hidup dan kurbannya ditangkap dengan mati, terpaksalah hanya mengambil kepala dari pada kurban itu dan dibawah ketempat Upacara Pemakaman sebagai tanda bahwa orang yang mati ini sudah dikurbankan Manusia untuknya sebagai tanda peranannya dimasyarakat pada masa hidupnya. Orang yang diupacarakan dengan adanya Kurban Barata ini dinamakan To di Pa’barataan.
Saat ini masih ada tongkonan-tongkonan yang berkuasa di Tana Toraja yang menyimpan Kepala/tengkorak Manusia yaitu tengkorak manusia Kurban Barata atau kepala yang dirampas dalam perang saudara di Tana Toraja, sebagai tanda bahwa turunan dari tongkonan ini adalah turunan pemberani serta turunannya dahulu ada yang dimakamkan dengan upacara adat Barata dan Tongkonan itu merupakan Tongkonan Penguasa yang Pemberani.
*Kata kunci: simbuang, rambu solo', korban, adat, toraja

Tidak ada komentar: