Halaman

Selasa, 27 Maret 2012

History of Traditional House in South Sulawesi






Toraja Traditional House
   Dalam masyarakat tradisional Sulawesi Selatan, segala sesuatu yang menyangkut kehidupan masyarakat dilakukanmenurut adat istiadat, dengan demikian adat menjadi semacam pedoman dalam bertindak yang menguasai pola kehidupan masyarakat, baik dalam tingkah laku, maupun dalam tata cara membangun rumah di dalam lingkungan alam sekitarnya.

       Tata cara pembuatan rumah dalam konsep arsitektur tradisional biasanya merujuk pesan, wasiat yang bersumber dari kepercayaan yang dianut, mulai dari pemilihan tempat, bentuk arsitekturnya, upacara ritual ketika membangun, sampai pada penentuan arah perletakan rumah.

      Secara konsepsual arsitektur, masyarakat tradisional Sulawesi Selatan (Bugis, Makassar, Toraja, dan Mandar) berangkat dari suatu pandangan hidup ontologis, memahami alam semesta secara universal. Filosofi hidup masyarakat tradisional Bugis Makassar yang disebut sulapa appa, menunjukkan upaya untuk menyempurnakan diri, filosofi ini menyatakan bahwa segala aspek kehidupan manusia barulah sempurna jika berbentuk segi empat, yang merupakan mitos asal kejadian manusia yang terdiri dari empat unsur, yaitu: tanah, air, api, dan angin.

To'Barana_Sa'dan
      Bagi masyarakat tradisional Bugis Makassar yang berpikir secara fotolitas, rumah tradisional Bugis Makassar dipengaruhi oleh: Struktur kosmos, di mana alam terbagi atas tiga bagian yaitu alam atas sebagai tempat suci, alam tengah, sebagai tempat berlangsungnya kehidupan manusia, dan alam bawah, tempat terjadinya interaksi dengan lingkungan sekitar dan makhluk hidup lainnya.

       Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam prosesi mendirikan rumah antara lain: meminta pertimbangan dari panrita bola untuk mencari tempat dan arah yang dianggap baik. Beberapa wasiat dalam hal menentukan arah rumah yaitu: sebaiknya menghadap kearah terbitnya matahari, menghadap kedataran tinggi, dan menghadap ke salah satu arah mata angin.

Ma'randing (Tarian Penyambutan Tamu)
        Selain itu salah satu faktor pertimbangan lain yang perlu diperhitungkan adalah pemilihan waktu untuk mendirikan rumah. Adapun hari ataupun bulan yang baik biasanya ditentukan atas bantuan orang-orang yang memiliki kepandaian dalam hal memilih waktu.

       Untuk pendirian rumah, biasanya didahului oleh upacara ritual, yang pada tahap selanjutnya secara berurutan mulai mendirikan rumah dengan mengerjakan tiang pusat rumah (posi'bola) terlebih dahulu, menyusul tiang tiang yang lain, hingga pekerjaan secara keseluruhan selesai dikerjakan.

      Seperti kebanyakan rumah tradisional di Indonesia, rumah Bugis Makassar juga dipengaruhi oleh adanya strata sosial penghuninya. Rumah tradisional Bugis Makassar pada dasarnya yaitu sebagai berikut:

>>>Rumah Kaum Bangsawan Arung atau Karaeng. Untuk rumah bangsawan yang memegang jabatan, pada puncak rumah induk terdiri dari tiga atau lebih sambulayang /timpalaja. Jumlah tiang ke samping dan ke belakang 5 - 6 buah, sedang untuk bangsawan biasa jumlah tiang ke samping dan ke belakang 4 -5 tiang. 2. Rumah Orang Kebanyakan Tosama, terdiri dari 4 buah tiang kesamping dan kebelakang, puncak sambulayang/timpalaja hanya dua susun. 3. Rumah Hamba Sahaja Ata atau Suro, bentuk dengan ukuran yang lebih kecil, biasanya hanya tiga petak, dengan sambulayang/timpalaja yang polos. Pada umumnya rumah tradisional Bugis Makassar berbentuk panggung dengan penyangga dari tiang yang secara vertikal terdiri atas tiga bagian yaitu: Rakkeang/Pammakkang, terletak pada bagian atas, di sini melekat plafond tempat atap menaungi, penyimpanan padi sebagai lambang kehidupan dan tempat atribut adat disimpan.

      Ale bola/kale balla, terletak pada bagian tengah, di mana sebuah tiang ditonjolkan di antara tiang tiang lainnya, yang terbagi atas beberapa petak dengan fungsinya masing-masing. Awaso/siring, terletak pada bagian bawah, sebagai tempat penyimpanan alat cocok tanam, ternak, alat bertukang dan lain lain. Sedang secara horisontal ruangan dalam rumah terbagi atas tiga bagian yaitu: Lontang ri saliweng/padaserang dallekang, letaknya di ruang bahagian depan. Lontang ri tengnga/padaserang tangnga, terletak di ruang bahagian tengah. Lontang ri laleng /padaserang riboko, terletak di ruang bahagian belakang.

       Selain ruang ruang tersebut, masih ada lagi tambahan di bagian belakang annasuang atau appalluang, dan ruang samping yang memanjang pada bagian samping yang disebut tamping, serta ruang kecil di depan rumah yang disebut lego-lego atau paladang.

      Ragam hias ornamen pada rumah tradisional Bugis dan Makassar merupakan salah satu bagian tersendiri dari bentuk dan corak rumah tradisional Bugis dan Makassar. Selain berfungsi sebagai hiasan, juga dapat berfungsi sebagai simbol status pemilik rumah. Ragam hias umumnya memiliki pola dasar yang bersumber dari alam flora dan fauna.

      Ornamen corak tumbuhan, umumnya bermotifkan bunga/kembang, daun yang memiliki arti rejeki yang tidak putus putusnya, seperti menjalarnya bunga itu, di samping motif yang lainnya. Ornamen corak binatang, umumnya bentuk yang sering ditemukan adalah: kepala kerbau yang disimbolkan sebagai bumi yang subur, penunjuk jalan, bintang tunggangan dan status sosial. Bentuk naga yang diartikan simbol wanita yang sifatnya lemah lembut, kekuatan yang dahsyat. Bentuk ayam jantan yang diartikan sebagai keuletan dan keberanian, agar kehidupan dalam rumah senantiasa dalam keadaan baik dan membawa keberuntungan.

      Ornamen corak alam, umumnya bermotifkan kaligrafi dari kebudayaan Islam. Penempatan ragam hias ornamen tersebutpada sambulayang/timpalaja, jendela, anjong, dan lain-lain. Penggunaan ragam hias ornamen tersebut menandakan bahwa derajat penghuninya tinggi.

      Masyarakat tradisional Tana Toraja di dalam membangun rumah tradisionalnya mengacu pada kearifan budaya lokal (kosmologi) yaitu: Konsep pusar atau pusat rumah sebagai paduan antara kosmologi dan simbolisme. Dalam perspektif kosmologi, rumah merupakan mikrokosmos, bagian dari lingkungan makrokosmos. Pusat rumah meraga sebagai perapian di tengah rumah, ataupun atap menjulang menaungi ruang tengah rumah dan atap menyatu dengan father sky. Pusat rumah juga meraga sebagai tiang utama, seperti a'riri possi di Toraja, possi bola di Bugis, pocci balla di Makassar dan tiang menyatu dengan mother earth.

       Pada masyarakat tradisional Toraja, dalam kehidupannya juga mengenal filosofi Aluk A'pa Oto'na yaitu empat dasar pandangan hidup: Kehidupan manusia, kehidupan alam leluhur Todolo, kemuliaan Tuhan, adat dan kebudayaan. Keempat filosofi ini menjadi dasar terbentuknya denah rumah toraja empat persegi panjang dengan dibatasi dinding yang melambangkan badan atau kekuasaan. Dalam kehidupan masyarakat toraja lebih percaya akan kekuatan sendiri, egocentrum. Hal ini yang tercermin pada konsep arsitektur rumah mereka dengan ruang-ruang agak tertutup dengan bukaan yang sempit.

       Selain itu konsep arsitektur tradisional Toraja, banyak dipengaruhi oleh ethos budaya simuane tallang atau filosofi harmonisasi dua belahan bambu yang saling terselungkup sebagaimana cara pemasangan belahan bambu pada atap rumah adat dan lumbung. Harmonisasi didapati dalam konsep arsitektur tongkonan yang menginteraksikan secara keseluruhan komponen tongkonan seperti: rumah, lumbung, sawah, kombong, rante dan liang, di dalam satu sistem kehidupan dan penghidupan orang Toraja didalam area tongkonan. Selain itu, makro dan mikro kosmos tetap terpelihara didalam tatanan kehidupan masyarakat tradisional Toraja, dimana rumah dianggap sebagai mikro kosmos.

       Tata letak rumah tongkonan berorientasi utara-selatan, bagian depan rumah harus berorientasi utara atau arah Puang Matua Ulunna langi dan bagian belakang rumah ke selatan atau arah tempat roh-roh Pollo'na Langi. Sedangkan kedua arah mata angin lainnya mempunyai arti kehidupan dan pemeliharaan, pada arah timur di mana para dea "dewata" memelihara dunia beserta isinya ciptaan Puang Mutua untuk memberi kehidupan bagi manusia, dan arah barat adalah tempat bersemayam To Membali Puang atau tempat para leluhur todolo. Atau selalu ada keseimbangan hidup di dunia dan akhirat. Kesemuanya ini diterjemahkan menjadi satu kata sederhana yaitu keseimbangan dan secara arsitektural keseimbangan selalu diaplikasikan ke dalam bentuk simetris pada bangunan. Dari sini dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa prinsip dasar arsitektur tradisional Toraja adalah simetris, keterikatan, dan berorientasi.

Tongkonan.

Kandean Dulang_Rantepao
 >>> Tongkonan, rumah adat Toraja adalah bangunan yang sangat besar artinya, karena peranannya yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat Toraja. Tongkonan dalam fungsinya terbagi menjadi 4 macam tingkatan yaitu: Tongkonan layuk, kedudukannya sebagai rumah tempat membuat peraturan adat istiadat. Tongkonan pokamberan/pokaindoran, yaitu rumah adat yang merupakan tempat melaksanakan aturan dan perintah adat dalam suatu masalah daerah. Tongkonan batu a'riri, yaitu tongkonan yang tidak mempunyai peranan dan fungsi sebagai tempat persatuan dan pembinaan keluarga dari keturunan pertama tongkonan itu, serta tempat pembinaan warisan, jadi mempunyai arti sebagai tiang batu keluarga.

RANTEPAO City
 >>> Tongkonan Pa'rapuan, fungsinya sama dengan tongkonan batu a'riri tetapi semua bangunan rumah adat Toraja mempunyai peranan dan fungsi tertentu, fungsi fungsi tersebut tidak akan berubah sepanjang letak dari bangunan itu tidak berubah yaitu atap menghadap keutara sebagai orientasi bangunan. Faktor inilah yang menyebabkan konstruksi dan arsitektur bangunan tetap sebagai dasar perancangan tongkonan, karena adanya hubungan pandangan keyakinan yang kuat dan tidak dapat dipisahkan dari bangunan.

Kerbau Saleko
         Bagian bagian dari rumah adat Toraja pulalah yang menentukan struktur arsitekturnya antara lain, rumah adat Toraja dibagi atas dua bagian besar yaitu dengan menarik garis besar dari utara ke selatan yang dibedakan dengan nama Kale banua matallo dan Kale banua matumpu' yaitu bagian rumah sebelah timur dan bagian rumah sebelah barat. Perkembangan arsitektur tradisional dipengaruhi oleh banyak faktor seperti: waktu, pengaruh budaya luar, pola hidup, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Dari masa lampau hingga masa kini ada empat masa perkembangannya yang dapat ditelusuri yaitu: Masa arsitektur tradisional, masa arsitektur klassik, masa arsitektur modern, serta masa arsitektur post modern. Masa arsitektur tradisional: pada masa ini budaya asli dan pola hidup masyarakat tradisional berkembang didalam masyarakat tanpa ada pengaruh luar, Arsitektur Tradisional merupakan pilihan satu satunya. Secara tradisi, bangunan hanya berfungsi sebagai rumah tinggal ataupun sebagai tempat bermukim keluarga.

        Arsitektur tradisional sangat dipengaruhi oleh keadaan dan potensi alam sekitarnya yang menjadi motif utama pemberi corak arsitektur tradisional. Terutama pengaruh iklim, curah hujan, tumbuh-tumbuhan yang dipakai sebagai bahan bangunan dan batu batuan. Arsitektur tradisional Toraja misalnya, mempunyai sudut kemiringan atap yang tajam karena curah hujan besar. Bambu dipakai sebagai atap dan plafound karena hutan bambu banyak di Tana Toraja, begitupun halnya bahan kayu yang dipakai sebagai tiang dan dinding. Perihal ragam hias ornamen yang didapati banyak memberi warna arsitektur tradisional Sulawesi Selatan, dipakai menghiasi dinding dan tiang sesuai tradisi masing masing etnis. Ornamen dipakai sebagai ungkapan arti simbol simbol suatu benda yang dianggap mempunyai arti dalam penghidupan dan kehidupan masyarakat tradisional etnis bersangkutan.

         Gaya arsitektur tradisional yang beranekaragam di Indonesia diperkirakan akan menjadi sumber inspirasi utama dalam gaya post-modern ini. Beberapa arsitektur modern masa kini dirancang dan dibangun dengan mengawinkannya dengan unsur-unsur arsitektur tradisional, tetapi terkadang unsur tradisional itu sendiri, manjadi rancu akibat dari perbedaan prinsip dasar, filosofi, konsep, aktifitas, bentuk, dan bahan bangunan. Masalah lain akan timbul bila dua macam atau lebih arsitektur tradisional yang berbeda disatukan di dalam satu gubahan arsitektur, seperti Toraja dengan Bugis, Toraja dengan Bali, Toraja dengan Jawa, dan kombinasi lainnya. Meskipun demikian arsitektur tradisional masih memiliki dan menampilkan persamaan yaitu: unsur vertikal dan horisontal. Bahkan kedua unsur ini dpat ditemukan pada seluruh arsitektur tradisional di Indonesia.

Toraja 1920 sampai 1947

BUDAYA & RITUAL ADAT TORAJA





Kebudayaan lokal Tana Toraja tidak dapat dipisahkan dengan istilah Siri'. Bagi suku Toraja pada hakikatnya Siri' sama dengan harga diri sebagai manusia.Istilah ini sering dihubungkan dengan penggarisan leluhur, Aluk Sola Pamali. Penggarisan ini menggambarkan jika seseorang yang tidak mempedulikan Siri Tuo atau Siri Mate artinya tidak menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, tidak menjunjung tinggi hakekat hidup dan kehidupan.

      Hal ini dikemukakan Dosen Sastra Unhas, Prof Dr C Salombe, dalam sebuah buku berjudul Siri' dan Passe'. "Siri juga dijadikan pandangan hidup yang tersimpan dan ditemukan dalam mitos-mitos mereka. Seperti dalam nyanyian pujaan uang diucapkan seorang Tominaa (petugas ahli adat istiadat tradisional)," tambahnya.
     Pandangan itu juga tertuang dalam upacara sukuran tradisional sebelum menyembelih hewan kurban, seperti dalam upacara pasomba tedong. Dalam upacara ini dijelaskan leluhur manusia, hewan, tumbuhan, dan benda alam liannya diciptakan sang puang matua dari dalam 'Sauan Sibarrung' (embusan kembar). "Setelah penciptaan itu, atas kehendak masing-masing dan direstui oleh Puang Matuang, maka leluhur hewan, tumbuhan, dan benda alam lainnya memilih jaln hidupnya sendiri-sendiri demi tanggungjawabnya terhadap kesejahteraan bersama," ujarnya.
     Namun perpihan itu tidak membuat mereka tidak saling bekerjasama. Keberadaan dan kehadiran manusia, hewan, tumbuhan, dan benda alam lainnya ada untaian solidaritas gotong royong kekerabatan di antara mereka. Dalam kacamata pandangan hidup suku Toraja, solidarita itu dapat dikatakan sebagai semangat atau tindakan mengabdikan diri seutuhnya dan setulus-tulusnya kepada kesejahteraan bersama.
"Hal ini tergambar secara verbal dalam mitos Takkebuku leluhur padi. Kesadaran dan kesdiaan berkorban dengan tulus dan ikhlas untuk sesama harus dijunjung tinggi dan dilaksanakan sebagai sesuatu yang mutlak. Bahkan harus dipandang sebagai satu-satunya jalan hidup setiap makhluk demi kesejahteraan bersama," katanya.
     Dari gambaran pandangan hidup masyarakat tradisional Toraja tersebut, harkat dan martabat seseorang dapat dilihat dan diukur dengan tingkat semangat dan usahanya. Menyatukan dirinya dengan untaian solidaritas gotong royong kekerabatan. "Rasa egoisme dapat terlihat jika seseorang acuh tak acuh terhadap jenazah seseorang anggota keluarga untuk menguburkan dengan wajar sesuai tradisi. Sifat ini mencerminkan seseorang tidak menjungjung tinggi harkat dan martabat, baik yang meninggal maupun keluarga, bahkan menjadi penghianat untaian solidaritas tersebut," jelasnya.
    Jika siri' telah tertanam dalam diri pribadi seseorang, tambahnya, maka setiap ada keluarga yang meninggal dunia, semua masyarakat akan berbondong-bondong datang berbelasungkawa dan dan saling bergotong royong melaksanakan upacara penguburan jenazah. Saat penguburan pun akan terlihat kerjasama mengorbankan hewan dan harta benda yang mungkin akan terkesan pemborosan bagi orang lain.

Begitu pula saat terjadi hubungan seksual tidak sah, menikahi saudara kandung atau hubungan seksual antara orang tua dengan anaknya, juga termasuk melanggar siri'. Pelanggaran ini menunjukkan tidakan tidak setia dengan solidaritas gotong royong kekerabatan alam semesta dan rumpun keluarga sebagai satu ekosistem. "Dalam tradisi Tana Toraja, bagi orang yang tidak setia terhadap solidaritas itu akan mendapat hukuman berat. Seperti mebakas hangus para pelakunya atau menenggalmkannya ke dalam palung sungai. Bahkan membakar hewan atau pakaian para pelaku. Jika tidak dilakukan, menurut mereka, malapetaka akan melanda kampung mereka, baik bagi keluarga maupun kesejahteraan bersama," (ONE ZERO Civil Engineering UNHAS) .


PROSES ACARA DALAM ADAT KEMATIAN

South Sulawei Tourism

Visit South Sulawesi 2012

  “Visit South Sulawesi 2012”, sesuai dengan namanya  dibentuk sebagai wadah untuk menampung kepentingan -kepentingan yang berkenaan dengan Pariwisata Sulawesi Selatan. Dengan adanya wadah ini maka diharapkan ikatan emosional, kekeluargaan, dan solidaritas antar Masyarakat Sulawesi Selatan Yang Tersebar di berbagai tempat tetap terjaga dengan baik,melalui event “Visit South Sulawesi 2012” yg di selenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Kepariwisataan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan bekerja sama dengan CV.Mandasini Putra Utama. 
   Dengan kata lain, “Visit South Sulawesi 2012” hadir sebagai media komunikasi yang mampu menyatukan dan menarik simpati para Wisatawan dalam negeri terutama wisatawan Mancanegara. 
   Seiring perjalanan waktu, Provinsi Sulawesi Selatan  telah tumbuh semakin besar dan berbanding lurus dengan Modernisasi Zaman. Banyak hal telah dilakukan untuk menunjukkan eksistensi dan kualitasnya. Oleh karena itu, demi memajukan Sulawesi Selatan menjadi lebih baik, diperlukan suatu Inovasi yaitu melalui event “Visit South Sulawesi 2012”. Jalinan komunikasi dan interaksi antar masyarakat Sulwesi Selatan yang akhir-akhir ini dirasa mulai merenggang harus segera dieratkan kembali melalui event ini.